Azas senioritas adalah
azas yang saat ini banyak dianut oleh organisasi-organisasi, komunitas-komunitas,
dan dalam kehidupan bermasyarakat. Alqur’an secara tersirat menyampaikan
pandangan terhadap azas senioritas, yaitu didalam surah al-baqarah ayat 34 :
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para
malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali iblis ia enggan dan takabur dan
adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”.
Kemudian disambung dalam
surah al a’raf ayat 12, terjadi “dialog” antara Allah Swt dan Iblis yang
menolak,
Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud
(kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?”Menjawab Iblis “Saya
lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api
sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah.
Iblis menyebutkan bahwa
dia merasa lebih baik dibandingkan manusia. Ya merasa lebih baik dalam segala
aspek, termasuk didalamnya tentang iblis
adalah makhluk yang lebih dahulu diciptakan oleh Allah dibandingkan manusia.
Dewasa ini, azas
senioritas yang kita anut seringlah mengarah kepada sifat iblis yang disebutkan
didalam Alqur’an. Terkadang ketika berposisi sebagai seorang senior ataupun
seorang yang berjabatan tinggi, amat seringlah terfikirkan oleh kita “Aku
adalah senior dan harus dihormati oleh nya”, “Aku adalah seorang yang berpengalaman
dan mereka harus menghormati aku”, “mengapa dia yang dipilih, bukankah aku
adalah seniornya” dan pemikiran lainnya. Jadilah ia orang yang berfikiran sebagai seorang yang
Sombong, takabur, iri, ujub, dan membangga-banggakan apa yang dimilikinya.
Sedari sekarang berhentilah
untuk berfikiran yang demikian, karena sesungguhnya yang terbaik disisi Allah
adalah yang lebih banyak berbuat kebaikan, dan yang bertakwa.
Sesungguhnya derajat
kemuliaan seseorang tiada dapat dinilai dari senior ataupun jabatan yang
diembannya. Adalah kiranya derajat kemuliaan dinilai dari keuletan dan
kesigapannya dalam bertindak, kecerdasan dan kritisnya dalam berfikir, serta
yang terpenting adalah bagaimana sifat dan budi pekertinya sehari-hari.
Kejujuran, kecerdasan, kebijaksanaan, kelembutan, kerendah-hatian, dan sifat
baik lainnya, hal itu yang menandakan perbedaan derajat kemuliaan manusia. “Seorang buruh yang berakhlak dan berbudi
serta berakidah baik maka lebih disenangi daripada seorang raja yang nista
akhlak, budi dan akidahnya.”
Lantas apakah islam
tiada mengenal azas senioritas? Bukankah dengan tiada mengenal azas senioritas,
maka tiadalah terciptanya hubungan yang baik antara seorang ayah dengan
anaknya, tidak ada tercipta hubungan yang baik antara guru dengan muridnya dan
dapat mengacaukan kehidupan bermasyarakat didunia apabila islam memimpin negara
didunia?
Nah jangan bersu-udzan
dahulu sebab didalam islam memiliki “azas senioritas” nya tersendiri. Didalam
islam sendiri, azas senioritas itu tidak identik dengan kasta-kasta. Yang mana
dengan kasta-kasta (baik jabatan/usia) tersebut, status sosial seseorang selama
hidupnya ditentukan.
Jadi bagaimanakah azas
senioritas dalam islam?
Kalau lah kita simak
cerita berikut, maka akan kita temukanlah azas senioritas didalam syari’at
islam. Kisah ini adalah kisah tentang seorang panglima muda yang dipilih oleh
Rasulullah Saw, yaitu Usamah ibn Zaid.
Usamah ibn Zaid adalah putra dari Zaid ibn
Haritsah, anak angkat Rasulullah Saw. Sejak kecil, Rasulullah telah menyayangi
Usamah ibn Zaid dan memanggilnya “Al-Hibb wa Ibnil Hibb” (Kesayangan anak
Kesayangan). Ketika menginjak usia remaja, sifat-sifat dan budi pekerti nya
yang mulia mulai terlihat dan pantas menjadikannya sebagai seorang kesayangan
Rasulullah. Dia cerdik dan pintar, bijaksana dan pandai, serta takwa dan wara.
Dia senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan tercela.
Pada usinya yang belum mencapai 20
tahun, Usamah diangkat oleh Rasulullah sebagai panglima perang. Maka,
bertindaklah Umar bin Khatthab yang segera menemui Rasulullah. Beliau sangat
marah, lalu bergegas mengambil sorbannya dan keluar menemui para sahabat yang
tengah berkumpul di Masjid Nabawi. Rasul Saw bersabda:
“Wahai sekalian manusia, saya mendengar pembicaraan mengenai
pengangkatan Usamah, demi Allah, seandainya kalian menyangsikan
kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan ayahnya, Zaid
bin Haritsah. Demi Allah, Zaid sangat pantas memegang kepemimpinan, begitu juga
dengan putranya, Usamah. Kalau ayahnya sangat saya kasihi, maka putranya pun
demikian. Mereka adalah orang yang baik. Hendaklah kalian memandang baik mereka
berdua. Mereka juga adalah sebaik-baik manusia di antara kalian.”
Padahal yang
dipimpin oleh Usamah bukanlah orang-orang yang jauh lebih muda daripada nya,
akan tetapi yang lebih tua dan dirasa lebih pantas untuk memegang kendali
sebagai seorang panglima perang seperti Abu Bakr as-shidiq, Umar ibn Khattab,
Saad ibn Abi Waqqas dll. Setelah Rasul wafat, Abu Bakar Shidiq
terpilih dan dilantik menjadi khalifah –pengganti kepemimpinan kaum Muslim.
Usamah tetap menjadi panglima perang kaum Muslim. Beberapa sahabat mengusulkan
Usamah yang masih muda belia itu dilengserkan dari jabatan panglima. Kata
mereka, “…Kami mengusulkan panglima pasukan (Usamah) yang masih muda remaja
ditukar dengan tokoh yang lebih tua dan berpengalaman.”
Ucapan itu disampaikan Umar bin Khatab kepada Abu Bakar. Sang Khalifah pun
berkata kepada Umar dengan nada tinggi (marah): “Hai putra Khattab! Rasulullah
telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini engkau menyuruhku membatalkan
putusan Rasulullah. Demi Allah, tidak ada cara begitu!”
Umar dan para sahabat mematuhi keputusan Abu Bakar. Ketika berangkat perang,
pasukan Muslimin berangkat di bawah pimpinan panglima yang masih muda remaja,
Usamah bin Zaid. Khalifah Abu Bakar turut mengantarkannya berjalan kaki,
sedangkan Usamah menunggang kendaraan. Kata Usamah, “Wahai Khalifah Rasulullah!
Silakan Anda naik kendaraan. Biarlah saya turun dan berjalan kaki. “
Jawab Abu Bakar, “Demi Allah! jangan turun! Demi Allah! saya tidak hendak
naik kendaraan! Biarlah kaki saya kotor, sementara mengantar engkau berjuang fi
sabilillah! Saya titipkan engkau, agama engkau (Islam), kesetiaan engkau, dan
kesudahan perjuangan engkau kepada Allah. Saya berwasiat kepada engkau,
laksanakan sebaik-baiknya segala perintah Rasulullah kepadamu!”
Kemudian dibalas oleh Usamah dengan jawaban yang penuh makna, “Aku
menitipkan kepada Allah agamamu, amanatmu juga penghujung amalmu dan aku
berwasiat kepadamu untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Rasulullah.”
Kemudian, Khalifah Abu Bakar lebih mendekat kepada Usamah. Katanya, “Jika
engkau setuju biarlah Umar tinggal bersama saya. Izinkanlah dia tinggal untuk
membantu saya. Usamah kemudian mengizinkannya.
Ibrah yang dapat kita ambil adalah
bahwasanya senioritas bukanlah aspek penentu untuk dimuliakannya seseorang.
Jikalau lah ingin dihormati dan dimuliakan tidaklah cukup didapat dengan hanya perbedaan usia dan merasa diri lebih senior, namun mulailah merubah perilaku menjadi perilaku yang lebih mulia.
Dunia ini sangatlah seimbang.
Seperti halnya yang kaya berkewajiban membantu yang miskin, dan yang miskin
berkewajiban berusaha dan tiada mengharap dari si kaya, sehingga timbul suatu
keseimbangan.
Azas senioritas didalam islam-pun
memakai sistem keseimbangan tadi, yang senior/berjabatan berkewajiban lah
menyayangi yang mudanya dengan cara memberikan cerita pengalaman, ilmu dunia
wal akhira, dan hal-hal yang dibutuhkan oleh yang muda tanpa ‘mengemis’ hormat
dari yang muda dan jagalah pribadi diri, jangan berlebih-lebihan. Ingatlah
bahwa senior itu adalah “contoh” dari juniornya.
Yang muda berkewajiban menghormati
orang yang lebih tua darinya atau disebut seniornya, ambillah beberapa ibrah
yang terdapat padanya, bantulah dia sedang dia membutuhkan bantuan, dan
janganlah bersikap berlebih-lebihan walaupun dianggapnya seniornya lebih rendah
ilmunya darinya. Sebab seberapa pun besar ilmu tiada berguna kalau tiada
memakai etika.
Yang tua memikirkan kebahagiaan kaum muda dimasa mendatang, dan yang muda memikirkan kebahagiaan kaum tua dimasa ini, sehingga dengan azas senioritas tersebut, kehidupan
bermasyarakat insyaallah menjadi tentram. Sama halnya seorang ayah memikirkan
cara menyenangkan anaknya, dan anaknya memikirkan bagaimana cara membahagiakan
ayahandanya,ah alangkah romantisnya.
Wallahu ‘alam
panglima-perang-termuda-kesayangan-rasulullah-saw/